Kamis, 18 Oktober 2007

Hasil Kerja SBY dlm penerapan syariat

SEKILAS MENGULITI HASIL KERJA SUSILO BAMBANG YUDHOYONO DAN SOEHARTO DALAM HAL PENERAPAN SYARIAT ISLAM.

“Aku pernah dengar bahwa Susilo Bambang Yudhoyono adalah orang yang lebih membenci syari'at Islam dibanding mbah Soeharto. Tolong berikan penjelasannya.“ (Sugiran)

-----------------------------------------------------------------------

Terimakasih saudara Sugiran di Pontianak, Kalimantan Barat, Indonesia.

Membaca dari apa yang disampaikan saudara Sugiran diatas, ternyata isinya menyangkut masalah subjektifitas, artinya sesuatu yang ada hubungan dengan perasaan dan sikap seseorang.

Nah, kalau membicarakan sesuatu yang ada erat kaitannya dengan masalah subjetifitas seseorang, maka akan sulit untuk melahirkan suatu hasil yang berupa kesimpulan yang objektif. Dengan berdasarkan alasan tersebut, saya dalam memberikan penjelasan dibawah ini, bukan membahas masalah subjetifitas Susilo Bambang Yudhoyono dan Soeharto, melainkan akan melihat pada platform dan hasil yang nampak dari adanya sikap Susilo Bambang Yudhoyono dan Soeharto dalam kehidupan diruang lingkup pemerintahan dan negara.

Jadi dengan membatasi permasalahan pada hasil yang nyata dari adanya sikap yang ditampilkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono dan Soeharto, maka sedikitnya kita akan bisa membandingkan apakah hasil kerja Susilo Bambang Yudhoyono lebih buruk dibandingkan dengan hasil kerja Soeharto dalam hal penerapan syariat Islam?

Nah, dari dasar pertanyaan diatas, sedikitnya kita bisa mengembangkan pemikiran yang ada kaitannya dengan hasil kerja yang dibuat oleh Susilo Bambang Yudhoyono dan Soeharto yang menyangkut penerapan syariat Islam.

Sekarang, agar supaya dalam membahas hasil kerja dari Susilo Bambang Yudhoyono dan Soeharto dalam hal penerapan syariat Islam tidak meluas kesegala penjuru, maka disini kita perlu membatasi pada ideologi apa yang dipahami dan dijalankan dalam kehidupan politik oleh kedua orang itu.

Nah, dengan membatasi kepada masalah ideologi atau masalah kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup yang dihubungkan dengan segala urusan dan tindakan mengenai pemerintahan negara yang dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono dan Soeharto, maka akan memberikan jalan kemudahan kepada kita untuk mengerti dan memahami hasil kerja yang dibuat oleh kedua orang itu yang menyangkut penerapan syariat Islam.

Untuk memulainya, kita mencoba membuka lembaran sejarah yang ada kaitannya dengan ideologi yang dipakai dan dijalankan oleh Soeharto, maka ditemukan didalamnya untaian cerita yang berbunyi:

"Pada masa itu saya ditempa mengenal dan menyerap budi pekerti dan filsafat hidup yang berlaku di lingkungan saya. Mengenal agama dan tata cara hidup Jawa. Pada masa itulah saya mengenal ajaran tiga "ojo", "ojo kagetan, ojo gumun, ojo dumeh", (jangan kagetan, jangan heran, jangan mentang- mentang), yang kelak jadi pegangan hidup saya, yang jadi penegak diri saya dalam menghadapi soal-soal yang bisa mengguncangkan diri saya. Saya ingat terus akan ajaran leluhur, "hormat kalawan Gusti, Guru, Ratu lan wong atuwo karo", hormat kepada Tuhan Yang Maha Esa, guru, pemerintah, dan kedua orang tua. Sampai jadi Presiden saya merasa tidak berubah dalam hal ini. Saya junjung tinggi ajaran itu dan saya percaya akan kebenarannya. Saya merasakan mencintai dan dicintai orang-orang tua saya, pengasuh-pengasuh saya, dan saudara-saudara saya, baik yang seibu maupun yang sebapak atau saudara angkat saya." (Soeharto, Akar Saya dari Desa , Otobiografi Soeharto yang dipaparkan kepada G.Dwipayana dan Ramadhan K.H. Penerbit PT Citra Lamtoro Gung Persada 1988)

Nah, kalau diteliti lebih dalam lagi dari apa yang dipaparkan dalam Otobiografi Soeharto tersebut akan ditemukan sedikit jalur kehidupan yang menyangkut waktu ketika Soeharto sedang sekolah di Wuryantoro, ditempat bibinya, adik ayahnya satu-satunya. Soeharto disamping belajar, ia mendapat latihan spiritual oleh pamannya, Kertosudiro suami bibinya, dan dipanggil juga sebagai ayah angkatnya. Dimana latihan spiritual itu dalam bentuk puasa tiap hari Senin dan Kamis dan tidur di tritisan (di bawah ujung atap di luar rumah). Hanya ada satu anjuran yang belum dikerjakannya, yaitu tidur di pawuhan, di tempat bekas bakaran sampah. Kemudian, disamping digembleng dengan wejengan untuk puasa tiap hari Senin dan Kamis dan tidur di tritisan (di bawah ujung atap di luar rumah), Soeharto juga mendapat latihan spiritual yang dinamakan ajaran tiga "ojo", "ojo kagetan, ojo gumun, ojo dumeh", (jangan kagetan, jangan heran, jangan mentang- mentang). Ditambah dengan ramuan yang berisikan "hormat kalawan Gusti, Guru, Ratu lan wong atuwo karo", hormat kepada Tuhan Yang Maha Esa, guru, pemerintah, dan kedua orang tua. Disamping Seoharto menerima ajaran tiga "ojo" dari ayah angkatnya, Kertosudiro, Soeharto juga mendapat gemblengan agama dan kepercayaan dari Kiai Darjatmo mubalig terkenal di Wonogiri.

Nah latihan spiritual yang dinamakan ajaran tiga "ojo", "ojo kagetan, ojo gumun, ojo dumeh" yang dicampur dengan ramuan "hormat kalawan Gusti, Guru, Ratu lan wong atuwo karo", dan gemblengan agama dan kepercayaan, yang menjadikan Soeharto dikemudian hari menyambar pancasila dan burung garuda dengan bhineka tunggal ika-nya mpu Tantular untuk dijadikan sebagai alat sakti guna dipakai sebagai tali penjerat dan penggebuk lawan-lawan politiknya.

Jadi dengan bekal ajaran gado-gado tiga "ojo" inilah Soeharto masuk KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger - Tentara Kerajaan Hindia Belanda). Diterima masuk ikatan Dinas Pendek, Kortverband, dan mendapat pendidikan dan latihannya diadakan di Gombong. Setelah Belanda menyerah kepada Jepang, 8 Maret 1942, Soeharto masuk PETA (Tentara Sukarela Pembela Tanah Air) yang baru dibuka. Soeharto menyembunyikan identitas mantan KNIL, karena kalau ketahuan Jepang, ia akan ditangkap. Dalam PETA Soeharto dilatih sebagai Shodancho (komandan peleton). Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, Soeharto mengumpulkan teman-teman bekas PETA-nya dan bergabung kedalam Badan Keamanan Rakyat (BKR). Ketika BKR digantikan namanya menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan Kolonel Soedirman dilantik menjadi Panglima Besar TKR pada tanggal 18 Desember 1945, kemudian ketika Panglima Besar TKR, Soedirman mengadakan reorganisasi dan penyempurnaan tubuh TKR, diangkatlah Soeharto menjadi Komandan Resimen III dengan pangkat letnan kolonel.

Nah sekarang kelihatan dengan jelas, itu Soeharto setelah dibekali ajaran gado-gado tiga "ojo" dan meluncur kedalam dunia militer, dari mulai KNIL, PETA, BKR dan TKR, telah membuka jalan baginya untuk dikemudian hari ajaran gado-gado tiga "ojo" banyak mempengaruhi dalam membangun jalan pemerintahannya.

Dan memang terbukti, Soeharto telah menciptakan satu sistem model militer yang didalamnya dipasang jaring-jaring yang terbuat dari ikatan yang terbuat dari ajaran gado-gado tiga "ojo", tetapi ditambah dengan cairan-cairan ampas pancasila yang sebelumnya telah diperas oleh Soekarno dalam bentuk sila-sila pancasila, sehingga akhirnya pancasila inilah yang dijadikan sebagai satu-satunya pilihan dalam tubuh RI, baik dalam kehidupan masyarakat, organisasi, partai, pemerintah, atau negara. Dimana pancasila merupakan satu-satunya ideologi negara yang harus dijadikan sebagai landasan kehidupan dalam masyarakat, organisasi, partai, pemerintah, dan negara.

Pancasila ini hanya dijadikan sebagai alat oleh Soeharto untuk mengikat dan mengontrol semua kehidupan baik dalam masalah politik, sosial, ekonomi, pertahanan, masyarakat, organisasi, partai, pemerintah dan negara.

Jadi pancasila ini adalah merupakan sebagai satu alat dalam rangka penerapan ajaran gado-gado tiga "ojo"-nya Soeharto yang diperolehnya dari ayah angkatnya Kertosudiro dan Kiai Darjatmo.

Nah sekarang, kalau dihubungkan dengan penerapan syariat Islam, maka sudah jelas kelihatan bahwa yang namanya syariat Islam memang tidak dikenal dan tidak dipakai dalam kehidupan bepemerintahan dan bernegara oleh Soeharto. Karena Soeharto lebih mengedepankan dan mementingkan ajaran gado-gado tiga "ojo"-nya yang dicampurkan kedalam cairan-cairan ampas pancasila yang sebelumnya merupakan hasil perasan Soekarno dalam bentuk sila-sila pancasila yang banyak dipengaruhi oleh isme-isme impor-an dari luar, seperti kosmo-politanisme-nya A.Baars dan Sosial-nasionalisme-nya Sun Yat Sen yang dinamakan San Min Chu I yang mengandung butiran Mintsu, Min chuan, Min Sheng atau nationalism, democracy, sosialism.

Jadi kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan diatas menunjukkan bahwa Soeharto lebih mengedepankan dan mementingkan ajaran gado-gado tiga "ojo"-nya dan mengenyampingkan syariat Islam. Yang dikenal dengan Islam oleh Soeharto adalah hanya berupa Islam versi Kiai Darjatmo.

Kemudian, kalau kita sekarang membuka lembaran sejarah yang ada kaitannya dengan ideologi yang dipakai dan dijalankan oleh Susilo Bambang Yudhoyono, maka ditemukan didalamnya untaian cerita yang bisa terbaca:

"Berdasarkan kondisi obyektif dan permasalahan fundamental yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dewasa ini, maka visi dan misi yang kami canangkan adalah lima tahun mendatang Indonesia harus lebih aman dan damai, lebih adil dan demokratis, dan lebih sejahtera. Dikatakan lebih aman dan damai apabila negara kita utuh, kemudian integrasi nasional makin kokoh, berdaulat di dalam pergaulan dunia yang makin dinamis, keamanan di seluruh tanah air dapat dipulihkan, kejahatan terus-menerus diberantas, dan kehidupan masyarakat kita makin rukun, makin damai dengan toleransi dan harmoni yang tinggi." (Susilo Bambang Yudhoyono, Dialog Calon Presiden 2004 yang Diselenggarakan KPU 1 Juli 2004)

Nah, sekarang kalau ideologi yang dipakai dan dijalankan oleh Susilo Bambang Yudhoyono dihubungkan dengan di Acheh, maka akan terbaca bahwa Susilo Bambang Yudhoyono adalah salah seorang arsitek yang membuat Keputusan Presiden RI nomor 28 tahun 2003 tentang pernyataan keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dikeluarkan pada tanggal 18 Mei 2003 dan diberlakukan pada tanggal 19 Mei 2003 serta telah diperpanjang sampai 18 Mei 2004 tetapi telah diganti dengan Keppres No.43/2004, dan Keputusan Presiden Republik Indonesia selaku Penguasa Darurat Militer Pusat Nomor 43 Tahun 2003 Tentang Pengaturan kegiatan Warga Negara Asing, Lembaga Swadaya Masyarakat dan Jurnalis di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang ditetapkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 16 Juni 2003.

Selanjutnya, dari visi dan misi yang dikemukakan oleh Susilo Bambang Yudhoyono itu tergambar bahwa Acheh yang telah dianeksasi oleh Presiden RIS Soekarno yang diteruskan oleh RI yang menjelma menjadi NKRI akan terus dipertahankan oleh Susilo Bambang Yudhoyono dengan cara dan metode yang "lebih aman dan damai".

Nah, untuk melaksanakan visi dan misi yang "lebih aman dan damai" dibuatlah kesepakatan antara pemerintah RI dan GAM yang dituangkan dalam bentuk Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. Tetapi dalam pelaksanaan MoU tersebut, ternyata pihak pemerintah RI dan DPR RI telah membabat dan memotong habis sebagian yang telah disepakti dalam MoU Helsinki. (”90 % isi UU Pemerintahan Acheh made in DPR RI harus dibuang karena bertentangan dengan MoU Helsinki”, http://www.dataphone.se/~ahmad/060719.htm )

Inilah yang disebut model visi dan misi yang merupakan penjabaran dari ideologi-nya Susilo Bambang Yudhoyono yang dihubungkan dengan Acheh.

Selanjutnya, kalau ideologi-nya Susilo Bambang Yudhoyono itu dihubungkan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober 2002, maka tidak jauh berbeda dengan apa yang sudah diajarkan oleh Soeharto terhadap para bawahan militernya, khususnya mereka yang berkecimpung dalam bidang keamanan dan intelijen. Dimana Perpu No.1&2/2002 tersebut adalah merupakan sebagian hasil kerja Susilo Bambang Yudhoyono yang pada waktu itu masih menjabat sebagai Menko Polkam dibawah Kabinet Gotong-Royong Megawati.

Nah, bagi orang-orang yang matanya sudah tertutup oleh debu-debu yang keluar dari gemuruhnya suara-suara yang berteriak teroris-teroris, jelas lobang-lobang penjerat yang dipasang oleh Susilo Bambang Yudhoyono dalam Perpu No.1&2/2002-nya itu tidak akan terlihat dengan jelas. Tetapi, bagi orang-orang yang bermata jeli, maka itu tali jeratan yang dipasang Susilo Bambang Yudhoyono dalam Perpu No.1&2/2002 akan mudah terlihat dengan jelas.

Coba kita buka saja sedikit apa yang terkandung dalam pasal-pasal yang membentuk Perpu No.1&2/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang berisikan mesin BIN (Badan Intelijen Nasional) alat produksi para teroris. Misalnya agar mesin BIN bisa dipakai untuk menghasilkan para teroris yang bisa dipamerkan keseluruh dunia, maka Susilo Bambang Yudhoyono menaburkan serbuk-serbuk pasal yang diberi nomor 26 yang berisikan ayat-ayat racun pernyataan:

(1)Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen.

(2)Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri.

(3)Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.

(4)Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan adanya bukti permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan dilaksanakan penyidikan.

Nah, akibat dari adanya serbuk-serbuk pasal 26 yang berisikan 4 ayat racun pernyataan diatas itu akan memberikan darah dan tenaga segar bagi kehidupan BIN untuk berlomba-lomba mengejar bayang-bayang orang yang akan dijadikan korban dengan gelar teroris untuk dipamerkan kehadapan dunia.

Jelas, usaha ini akan memberikan keuntungan yang besar bagi BIN, khususnya badan intelijen yang ada dalam tubuh TNI, spesial badan intelijen yang ada dalam tubuh AD binaan Soeharto.

Jadi, makin giat dan aktif para anggota BIN ini untuk mengutak-atik informasi tentang musuh-musuh TNI dan Susilo Bambang Yudhoyono dan musuh ORBA, maka sudah bisa dijadikan sebagai dasar untuk mengadakan penyidikan dan tentu saja penangkapan, misalnya terhadap kasus Bakar Ba'ashir. Itu dasar penangkapan Ba'ashir adalah sebagian besar karena adanya sampah-sampah info yang dikutak-katik dan digali oleh BIN ini. Dimana Ba'ashir dikaitkan dengan bom Bali, dengan penegakkan syariat Islam, dengan jamaah Islamiyah.

Jadi sekarang, kesimpulan yang bisa ditarik ialah ideologi yang dipahami dan dijalankan dalam kehidupan politik dan pemerintahan serta negara oleh Susilo Bambang Yudhoyono menunjukkan kearah perlawanan dan penentangan tegaknya syariat Islam yang dijabarkan kedalam bentuk Perpu 1&2/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Nah terakhir, dari uraian diatas dapat kita sekarang memberikan jawaban atas pertanyaan yang disampaikan diatas yaitu ”apakah hasil kerja Susilo Bambang Yudhoyono lebih buruk dibandingkan dengan hasil kerja Soeharto dalam hal penerapan syariat Islam?”

Jawabannya adalah hasil kerja Susilo Bambang Yudhoyono adalah sama buruknya dibandingkan dengan hasil kerja Soeharto dalam hal penerapan syariat Islam.

Jadi antara Susilo Bambang Yudhoyono dan Soeharto adalah tidak ada bedanya, keduanya adalah penghambat dan sekaligus pemadam tegaknya syariat Islam.

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

Wassalam.