Islam tidak bisa dipisahkan dengan Jihad fi sabilillah, sementara Jihad berarti perang. lalu, adakah dalam Islam konsep ataupun kondisi di mana perdamaian (as-salam) merupakan pilar dasar dari perlakuan Daulah Islamiyah?
---------------------------------------------------------------------------------------
Pertama-tama marilah kita merujuk kepada Al-Quran dan Hadits Rasullullah SAW :
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah....
(QS Al Baqarah : 193)
Ayat tersebut bermakna, bahwa kaum muslimin wajib melakukan jihad untuk membebaskan diri atau membebaskan negeri-negeri dari kekuasaan para Thogut (baca: penguasa Thogut) sehingga Islam bisa berdiri tegak di atas din-din (baca: ajaran) lain agar seluruh kedaulatan hanya milik Allah SWT.
Hadis riwayat Abdullah bin Umar ra., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Aku diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad saw. adalah utusan Allah, mendirikan salat dan mengeluarkan zakat. Barang siapa melaksanakannya berarti ia telah melindungi diri dan hartanya dariku kecuali dengan sebab syara, sedang perhitungannya (terserah) pada Allah Taala (Nomor hadis dalam kitab Sahih Muslim [Bahasa Arab saja]: 30)
Ajaran Islam mencakup akidah dan syariat atau meliputi fikrah (pemikiran/ide) dan thariqah (metode). Salah satu tuntutan sekaligus tujuan dan pelaksanaan ajaran Islam adalah melahirkan rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil alamIn).
Di dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara (baca: Daulah Khilafah Islamiyah / bukan negeri sekular atau kufr yang mayoritas rakyatnya mengaku muslim), tanggung jawab atas jaminan pelaksanaan seluruh mekanisme syariat Islam ada pada pundak Khalifah (kepala negara umat Islam). Khalifah, di dalam strategi politik syariat Islam (as-siyasah asy-syar'iyyah), memiliki dua perlakuan yang asasnya berbeda, yaitu:
(1) politik dalam negeri (as-si yasah ad-dâkhiliyah;
(2) politik luar negeri (as-siyasah aI-kharijiyah).
Oleh karena itu, kepemimpinan politik (imamah, ri'âsah, khilafah) dalam Islam didefinisikan sebagai kepemimpinan umum atas seluruh kaum Muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam—dengan pemikiran-pemikiran maupun hukum yang telah datang dan ditetapkan oleh (Islam)—untuk mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan cara mengenalkan dan mengajak umat manusia kepada Islam serta menjalankan jihad fi sabilillah. (Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syakhshiyah lslãmiyah, jld. lI/110, Darul Ummah).
Dalam konteks politik dalam negeri, asas yang menjadi dasar perlakuan negara (Daulah Islamiyah) terhadap seluruh warga negaranya— baik Muslim ataupun non-Muslim— adalah ri'âyah syu'un (mengatur dan memelihara urusan-urusan) umat. Itulah yang menjadi kewajiban sekaligus tanggung jawab negara terhadap rakyatnya. Rasulullah saw.
bersabda:
Seorang imam (kepala negara) adalab pemimpin (bagaikan seorang penggembala yang mengatur dan memelihara gembalaannyo, pen.) dan dia akan dimintai tanggung jawab atas (urusan) rakyatnya. (HR Bukhari dan Muslim).
Artinya, Khalifah wajib mengatur dan memelihara urusan rakyatnya dengan hukum-hukum Islam.
Seluruh hukum Islam yang berkaitan dengan politik dalam negeri (yakni yang menyangkut hubungan Khalifah dengan rakyatnya) dibangun atas dasar as-salâm (perdamaian, keselamatan), termasuk dalam pelaksanaan hukum-hukum ‘uqubat (sistem sanksi /eksekusi peradilan) maupun hudud. Sebab, justru pelaksanaan hukum hudud akan menghidupkan, bukan membinasakan.
Dengan demikian, tidak diperkenankan negara (Daulah Islamiyah) menjalankan praktik memata-matai rakyatnya; merampas barang yang menjadi milik rakyatnya; memasuki rumah warga yang berpenghuni tanpa izin; menganiaya, menelantarkan, serta membiarkan rakyatnya kelaparan, tertindas, dan lain-lain; sebagaimana yang menjadi gambaran perlakuan para penguasa diktator terhadap rakyatnya.
Perlakuan negara terhadap orang-orang non-Muslim yang menjadi warga negaranya sama dengan perlakuan negara terhadap umat Islam yang rnenjadi warga negaranya. Meskipun demikian, negara mengikat hubungan (interaksi) dengan orang-orang non-Muslim itu dengan perjanjian. Perjanjian tersebut dikenal dengan sebutan ‘aqad dzimmah, yakni perjanjian perlindungan negara atas jiwa, kehormatan, dan harta milik mereka serta berbagai hak mereka sebagai warga negara; dengan imbalan (dari mereka) berupa ketundukan (ketaatan) kepada negara disertai dengan pembayaran jizyah (bagi laki-laki).
Pengecualian terhadap asas as-salam dalam pólitik dalam negeri hanya dalam beberapa kondisi saja, yakni:
1. Adanya kelompok bughât (pembangkang) terhadap negara dengan mengangkat senjata.
2. Adanya kelompok orang-orang murtad (riddah) yang enggan kembali memeluk Islam dan mengangkat senjata melawan negara.
3. Adanya kelompok pembegal (penjahat) yang melakukan kekacauan dan kejahatan dengan meneror masyarakat (hirabah).
Ketiga kelompok tersebut, jika mereka tidak bertobat dan kembali ke pangkuan negara seperti sedia kala, akan diperlakukan tindakan fisik, yaitu diperangi hingga mereka kembali. Hanya saja, peperangan terhadap mereka tidak dapat disamakan dengan perang jihad fi sabilillah, kecuali terhadap kelompok riddah.
Sebaliknya, dalam politik luar negeri, justru negara membangun asas interaksinya dengan negara (kafir) lain berlandaskan hubungan jihad fi sabilillah. Hal ini dapat dimengerti karena Daulah Islamiyah adalah negara ideologis yang berkewajiban menjalankan aktivitas dakwah (propaganda) Islam ke seluruh negara-negara kafir. Jika negara-negara kafir itu menolak ajakan Daulah Islamiyah untuk bergabung dan menjadi bagian dari Daulah Islamiyah, atau memeluk Islam, berarti jihad adalah jawabannya. Itu didasarkan pada penuturan Rasulullah saw. (yang artinya):
“… .Apabila engkau bertemu dengan musuhmu dari Orang-orang musyrik maka ajaklah mereka kepada tiga hal atau pilihan. Pilihan apa saja yang mereka tentukan maka terimalah dan berhentilah kalian dalam memerangi mereka. Ajaklah mereka kepada Islam. Apabila mereka menerima seruanmu itu maka terimalah hal itu dari mereka dan hentikanlah peperangan, kemudian ajaklah mereka untuk mengubah negara mereka menjadi Darul Muhajirin, dan beritahukan kepada mereka bahwa jika mereka menerima hal itu maka mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan orang-orang Muhajirin. Jika mereka menolak untuk mengubah negara mereka menjadi Darul Islam maka beritahukan kepada mereka bahwa kedudukan mereka seperti orang-orang Arab Bodwi dari kaum Muslim, yaitu diterapkan hukum Allah atas mereka sebagaimana diterapkan atas kaum Muslim dan mereka tidak mendapatkan sedikitpun dari fat' dan ghanimah kecuali jika mereka turut berjihad dengan kaum Muslim. Apabila mereka menolak, pungutlah atas mereka jizyah; jika mereka menerima hal itu, janganlah engkau perangi mereka. Namun, apabila mereka menolak maka mohonlah pertolongan kepada Allah dan perangilah mereka. (HR Muslim).
Pengecualian dan perlakuan asas ini terhadap negara-negara (kafir) lain hanya dapat diterima dalam beberapa kondisi dimana musuh menawarkan perdamaian dengan berbagai bentuknya. Allah Swt.:
Jika mereka condong pada perdamaian maka condonglah kepadanya. Dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahamendengar dan Mahatahu (QS al-Anfal [8]: 61).
Kondisi-kondisi tersebut antara lain:
I. Perjanjian gencatan senjata (al-hudnah).
2. Perjanjian damai .(as-shulh) dengan berbagai bentuknya seperti: perjanjian bertetangga baik (husn al-jiwar); perjanjian kerjasama di bidang perdagangan, tsaqâfah (sains dan
teknologi), telekomunikasi, penerbangan transportasi dan sejenisnya yang dibolehkan syariat Islam.
Hanya saja, kondisi-kondisi tersebut di atas harus dibatasi waktunya (bersifat temporer). Tidak dibolehkan adanya perjanjian perdamaian atau gencatan senjata yang bersifat abadi, karena hal itu akan mematikan (hukum) jihad fi sabilillah, dan akan menghalangi aktivitas dakwah Islam ke seluruh dunia.
Dengan demikian, prinsip umum perlakuan negara terhadap rakyat yang menjadi politik dalam negeri sangat berbeda asasnya dengan perlakuan negara terhadap negara-negara (kafir) lain. Dua aspek ini menyangkut mekanisme hukum Islam yang ada di dalam Darul Islam dan mekanisme hukum yang menyangkut hubungan Darul Islam dengan Darul Kufur. Hal itu sangat jelas dan tegas dalam syariat Islam.